PADRIRESTAURANT – Seorang korban calon Pekerja Migran Indonesia (PMI) menceritakan pengalamannya ditipu oleh calo PMI yang menjanjikan bekerja di Uni Emirat Arab (UEA). Korban ini adalah Tati (44), perempuan asal Karawang yang pernah bekerja sebagai PMI di Yordania selama empat tahun. Tati adalah satu dari delapan korban yang dijanjikan bekerja ke UEA melalui jalur ilegal.

Pengalaman Tati Sebelumnya

Tati sebelumnya bekerja secara legal di Yordania dan merasakan banyak perbedaan antara berangkat secara prosedural dan ilegal. “Kalau dulu itu persyaratan lengkap izin suami. Kalau udah beres, pergi ke medical, kasih surat KK foto kopi, terus masuk dulu ke PT. Di sana belajar bahasa selama 1 bulan, belajar bersih-bersih khusus untuk ART, bahasa diajarin, terus soal alat dapur,” kata Tati di Shelter PMI Tangerang, Kamis (26/12/2024).

Pengalaman dengan Calo

Namun, pengalaman berbeda dialami Tati saat dijanjikan berangkat tahun ini ke UEA. Banyak syarat-syarat atau berkas yang dilewatkan saat proses rekrutmen. “Cuma diminta paspor yang dulu, terus surat KK sama KTP, surat izin suami juga, nggak dikasih berkasnya,” jelas dia. Meski begitu, Tati mengaku tak curiga dengan modus si calo hendak menipu para korbannya. Dia pun hanya ikut arahan dari calo, namun tidak tahu hendak dibawa ke mana.

“Saya gak tahu, saya ikut aja, berangkat jam 8 sampe jam 11, tapi anehnya masuk ke hotel bukan ke PT, ikutin aja sampe ke dalam, saya bertanya-tanya kok dimasukin ke hotel, kalau resmi ke PT ya,” jelasnya. Tati yang mulai resah terus menanyakan ke calo kapan segera berangkat ke UEA. Mereka pun dijanjikan berangkat malam.

Sayangnya, keberangkatan tak kunjung tiba. Tati dan para CPMI lain justru kaget karena yang datang ke tempatnya menginap adalah polisi. “Lalu, pagi kita sarapan terus saya tanya gimana penerbangan, katanya nanti malam, eh jam 2 yang datang malah polisi,” ucapnya.

Modus Calo

Tati bercerita, jika calo yang hendak mempekerjakannya merupakan kontak dari temannya di kampung. Saat itu Tati membutuhkan pekerjaan untuk memperbaiki ekonomi keluarga. “Saya mau kerja, saya dicariin. Terus nanya sama temen, terus datang (calo) ke rumah, saya ditanya di foto, paspor sama sponsor luar,” katanya.

Para korban dijanjikan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga (ART) di Abu Dhabi, UEA, tetapi melalui jalur tidak resmi. “Ini rata-rata mereka dijanjikan bekerja sebagai asisten rumah tangga,” ujar Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Abdul Kadir Karding di Shelter PMI Tangerang, Jurumudi, Benda, Kota Tangerang, Kamis (26/12/2024).

Kepada korbannya, para pelaku mengaku bekerja melalui lembaga resmi. Namun, kenyataannya lembaga tersebut ilegal atau tidak jelas keberadaannya. “Ngakunya ada lembaga, tapi sampai di ujung, lembaga itu tidak ada. Kalau pun ada, cara operasinya ilegal,” kata Karding.

Modus yang digunakan dua calo tersebut, yakni dengan merekrut korbannya dan mengiming-imingi sejumlah uang. “Modusnya nonprosedural. Mereka dijanjikan bisa berangkat kerja dan akan diberi uang Rp 9 juta, tapi kenyataannya hanya diberi Rp 2 juta,” kata dia. Paspor para korban juga disita oleh pelaku. BP2 MI bahkan menemukan tujuh paspor lainnya yang diduga digunakan untuk membuat paspor palsu.

Penangkapan Calo

Dua pelaku tersebut telah ditangkap dan ditahan di Polres Bogor untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Mereka dijerat Pasal 81 Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda hingga Rp15 miliar. “Kami juga menerapkan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,” tambah dia.

Penangkapan tersebut bermula dari adanya informasi penampungan CPMI yang diduga akan diberangkatkan secara nonprosedural ke Abu Dhabi. Kemudian, pada Selasa (24/12/2024), tim gabungan mendalami keberadaan para CPMI dan mendapati adanya seorang terduga calo berinisial MZL alias ZL. Para korban berasal dari Lampung, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Usia mereka berkisar antara 37 hingga 50 tahun, dengan pekerjaan utama sebagai asisten rumah tangga dan petani.

“Para korban mengaku dijanjikan gaji sekitar 1.200 dirham atau setara Rp 5 juta per bulan. Namun, mereka belum menerima uang fee yang dijanjikan,” kata Karding.

Kesimpulan

Cerita Tati dan para korban lainnya menunjukkan betapa rentannya pekerja migran terhadap penipuan oleh calo yang menjanjikan pekerjaan di luar negeri melalui jalur ilegal. Penting bagi calon pekerja migran untuk selalu memastikan proses rekrutmen dan keberangkatan mereka sesuai dengan prosedur yang legal dan aman. Pemerintah juga perlu memperkuat pengawasan dan penindakan terhadap praktik-praktik ilegal yang merugikan pekerja migran.