PADRIRESTAURANT – Pada hari Selasa, 26 November 2024, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengumumkan keputusan pemberhentian tetap terhadap Komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Surabaya, Muhammad Agil Akbar. Keputusan ini diambil setelah serangkaian sidang kode etik yang menunjukkan bahwa Agil terbukti melakukan tindakan asusila dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.

Kasus ini bermula dari pengaduan yang diajukan oleh mantan anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dengan inisial PSH. PSH mengadukan bahwa Agil melakukan hubungan tidak wajar di luar pernikahannya dengan dirinya. Hubungan ini terungkap setelah PSH mengirimkan foto dan video yang menunjukkan kedekatan khusus antara keduanya kepada istri Agil melalui WhatsApp48.

Agil Akbar menjalani sidang kode etik oleh DKPP di KPU Jatim pada Kamis, 10 Oktober 2024. Dalam sidang tersebut, Agil diperiksa terkait dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) perkara nomor 192-PKE-DKPP/VIII/2024. Sidang ini dihadiri oleh berbagai pihak termasuk korban, saksi, dan anggota DKPP47.

Pada Senin, 25 November 2024, DKPP mengumumkan hasil sidang yang menunjukkan bahwa Agil terbukti melakukan tindakan asusila. Putusan ini dibacakan oleh Ketua DKPP, Heddy Lugito, yang menyatakan bahwa Agil harus diberhentikan tetap dari jabatannya sebagai Komisioner Bawaslu Surabaya. Selain itu, DKPP juga memerintahkan Bawaslu untuk melaksanakan putusan ini dalam waktu tujuh hari sejak putusan dibacakan48.

Keputusan ini menuai berbagai reaksi dari berbagai pihak. Masyarakat dan organisasi kemasyarakatan mengecam tindakan Agil dan menyatakan dukungan terhadap keputusan DKPP. Sementara itu, beberapa pihak juga menyoroti pentingnya menjaga etika dan moralitas dalam jabatan publik, terutama bagi penyelenggara pemilu yang harus menjadi teladan bagi masyarakat217.

Pemberhentian Agil Akbar dari jabatannya sebagai Komisioner Bawaslu Surabaya merupakan langkah yang diambil untuk menjaga kehormatan dan integritas lembaga penyelenggara pemilu. Keputusan ini diharapkan dapat menjadi pelajaran bagi semua penyelenggara pemilu untuk selalu menjaga etika dan moralitas dalam menjalankan tugasnya.

Dengan demikian, kasus ini menunjukkan bahwa tidak ada toleransi terhadap pelanggaran etika dan moralitas, terutama bagi mereka yang berada dalam posisi publik dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan demokrasi.